Menjadi Kekasih Allah
Oleh : MR. Kurnia
|
Sebuah Keniscayaan
Bicara tentang kekasih,
identik dengan berbicara tentang cinta. Sesuatu yang dicintai dan dikasihi,
dimakhlumi sebagai kekasih. Nabiyullah Ibrahim mendapat julukan Kholilullah
(Kekasih Allah), artinya beliau mendapatkan cinta dan kasih sayang-Nya.
Cinta yang hakiki-murni-sejati adalah cinta pada Dia, Dzat Maha Suci yang
secara realitas telah memberi segala yang kita rasakan sekarang. Cinta hakiki
adalah cinta pada dzat yang mencintai kita.
Betapa tidak, hanya
dialah yang memberikan segalanya pada kita. Tengok saja segala yang kita
miliki, semuanya berasal dari Allah SWT. Semua yang kita gunakan adalah
milik-Nya, lalu atas dasar kasih-Nya Dia mengijinkan kita untuk menggunakan
semua itu. Hakekatnya, badan, tanah, rumah, kendaraan, kekayaan, jabatan dan
segala hal yang kita gunakan bukanlah milik hakiki kita. Itu adalah milik
Allah SWT yang atas cinta-Nya dibolehkan untuk kita gunakan sehingga menjadi
‘milik' kita didunia. Bukti konkret bahwa semua itu bukan milik hakiki kita,
hanya ‘milik' sementara saja, adalah ketika siapapun meninggal maka semua itu
tidak dibawanya. Badan hancur lebur dimakan bakteri; tanah, rumah, kendaraan,
dan kekayaan tidak ikut dikubur, semuanya diwariskan. Jabatan juga hanya
tinggal sebutan. Satu-satunya jabatan yang melekat adalah : MAYAT
Semua yang kita punya
berasal dari Allah SWT. Saya percaya, anda pernah berpikir mengapa anda dapat
membaca buku ini ? sebab, anda punya energi yang diolah dari makanan beserta
indera yang dimiliki. Padahal, proses terbentuknya energi dari makanan itu
melalui suatu proses metabolisme yang canggih. Siapakah yang menjadikan
proses metabolisme sejak lahir dalam diri kita ? kitakah? Bukan! Allah SWT.
Dengan penuh cinta memberikannya kepada kita sejak bayi. Tanpa metabolisme,
kita tak berdaya apa-apa. Organ tubuh kita dengan fungsinya masing-masing,
kitakah yang membuatnya? Tentu, bukan! Allah SWT. Menciptakannya untuk kita
gunakan. Kita makan nasi, siapakah yang membuat padinya? Petani ? kita,
tentu, akan mengatakan :
“bukan, petani hanyalah menanam”. Allah SWT. Memang sengaja menciptakan padi untuk kita makan. Dia telah berjanji memberi rizki pada setiap makhluknya. Pakaian yang kita kenakan berasal dari benang, dan benang berasal dari kapas, siapakah yang menjadikan pohon kapas? Bukan siapapun melainkan Allah SWT. Setiap apapun yang kita gunakan, terang sekali ciptakan Allah SWT. Tak ada sesuatu apapun yang kita miliki dan gunakan kecuali berasal dari Allah Dzat Maha Sayang. Kita tak punya daya dan upaya tanpa Allah SWT, la hawla wa la quwwata illa billah . Semua itu merupakan wujud sifat kasih sayang Allah SWT ( Ar rahman ) yang dia berikan kepada kita.
Realitas menunujukkan
tidak ada siapapun yang mencintai kita memberi segala yang kita punyai dan
kita butuhkan selain Allah Pencipta kita. Kecintaan Allah SWT. Nampak begitu
nyata. Bila demikian, maka sangat rasional bila saya, anda, dan siapapun
ingin menjadi kekasih-Nya. Ingin menumpahkan cinta kita kepada-Nya. Kehendak
menjadi kekasih Allah SWT. Dan mencurahkan kecintaan kepada-Nya sungguh
merupakan keniscayaan bagi mereka yang menyadari sebagai hamba Allah Dzat
Maha Pemberi.
Wujud Nyata
Wujud cinta tersebut
umumnya teraplikasi setidaknya dalam tiga bentuk. Pertama, lebih mementingkan
perintah kekasihnya dari pada perintah yang lain; kedua, lebih
mementingkan pertemuan dengan kekasihnya dibanding dengan yang lain; dan ketiga,
lebih mementingkan mendapat keridhoan kekasihnya dari pada mendapatkan
keridhoan yang lainnya. Karenanya, untuk mengecek apakah kita sudah
menjadikan Allah SWT sebagai kekasih sejati atau belum mestinya kita mengecek
sudahkah kita selalu taat pada perintah-Nya ? sudahkah selalu ingin bertemu
dengan-Nya dalam peribadatan? Sudahkah mengharapkan keridhoan hanya dari-Nya?
Kepada hukum Allah ataukah hukum thaghut? Jika jawabannya belum, maka
tidak salah bila saat ini nurani anda bergumam: “hipokrit engkau wahai
jiwaku!” sekalipun demikian, sampai sekarangpun belum terlambat untuk
menjadikan-Nya al-Mahbub (yang dicintai). Yakinlah, kita dapat menjadi
kekasih-Nya hingga nama kita senantiasa disebut-sebut di kalangan para
malaikat.
Satu hal yang penting
dicatat, tidak mungkin Allah SWT menyayangi dan mengasihi kita dalam
keridhoan-Nya bila kita sendiri tidak mencintai-Nya. Inilah kiat pertama yang
mutlak dilakukan:
” Jadikanlah Allah sebagai kekasih kita, niscaya kita akan menjadi kekasih-Nya”. Katakanlah:”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . Begitu firman Allah SWT dalam surat Ali ‘Imron [3] ayat 31.
Seorang muslim, apalagi
pengemban dakwah, sudah sepatutnyalah menjadikan cinta tertingginya untuk
Allah SWT. Karena dia adalah penyebar ajaran-ajaran-Nya. Dengan demikian ia
akan menjadi uswah dan qudwah bagi masyarakat obyek dakwahnya.
Sulit dibayangkan seseorang mengajak orang lain untuk mencintai Allah SWT
bila dia yang mengajaknya tidak menjadikan Allah SWT sebagai kekasihnya.
Jadi, keimanan dan tanggung jawab ini akan mendorong setiap mukmin pengemban
dakwah terus berusaha untuk mencintai sekaligus dicintai oleh Allah. Demikian
pula muslim pada umumnya.
Langkah Menjadi
Kekasih-Nya
Siapapun yang men- tadabburi
kalamullah, akan menemukan beberapa sifat yang harus dimiliki agar
menjadi hamba yang dicintai Khaliq- nya. Beberapa karakteristik
tersebut diantaranya :
1. Beriman
Adanya iman pada
seseorang, merupakan syarat mutlak bagi hamba yang berhasrat dicintai Allah.
Tanpa ini, jangan harap ada cinta dari-Nya. pada ayat 18 al-Fath, yang
memberikan gambaran baiatur Ridwan, Allah menjelaskan hal tersebut.
Seorang mukmin, terlebih-lebih para pengemban dakwah betul-betul memiliki
keimanan yang mantap disertai dengan pembuktiannya dalam kehidupan
sehari-hari. Ia senantiasa bergetar hatinya apabila disebut nama Allah
(artinya disebut ayat-ayat Allah) sebagai lambang kerinduan kepada-Nya,
bahkan iapun berusaha selalu memahami ayat-ayat Allah dengan mendalam
sehingga keimanannya makin bertambah setiap dibacakan ayat-ayat-Nya.
Sebagaimana firman Allah SWT :
penampakan keimanan yang
lainnya, ia senantiasa khusyu' dalam sholatnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
saat melakukan sholat,
pikirannya tertuju pada makna bacaan, lidahnya membaca dan hatinya menghayati
apa yang dibacanya itu. Ia dapat khusyu' seperti ini karena betul-betul
meyakini akan pertemuannya dengan Allah dan ia pun yakin bahwa ia pasti akan
kembali dan bertemu dengan-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT :
Keimanan yang seperti ini
akan juga membuahkan amal-amal yang menjauhkan diri dari perkataan yang tidak
berguna. Sebagaimana firman Allah SWT:
Demikian pula ia
mengeluarkan zakat, menjaga arji- nya dari berzina, selalu memegang
teguh dan menyampaikan amanat, menepati janji, dan selalu menjaga sholatnya
agar tidak terbengkalai. Sebagaimana firman Allah SWT :
Dalam kitab Nashooihul
‘Ibad, Ibnu Hajar al-Atsqolani mengutip sebuah hadist Rasulullah SAW yang
berkaitan dengan tanda-tanda keimanan :
2. Bertaqwa
Allah SWT berfirman :
Para ulama mendefinisikan
taqwa sebagai melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Dengan demikian, seorang pengemban dakwah akan senantiasa memaksa dan memacu
dirinya untuk terikat dengan seluruh aturan Allah SWT (syariat Islam) dalam
setiap keadaan apapun. Sebagaimana sabda Rasul SAW:
taqwa tidak melekat
begitu saja pada seseorang. Ia lebih merupakan suatu hasil kerja terus
menerus dengan amal Islami. Karenanya, taqwa perlu dibina, disuburkan dan
diistiqamahkan. Kehidupan duniawi laksana seseorang yang mengendarai kuda.
Bila lalai mengatur kendalinya, tak tahu kuda lari kemana dan kita bernasib
bagaimana. Yang jelas kita akan tersesat dalam kondisi sesesat-sesatnya.
Dalam hidup di dunia, taqwa itulah kendalinya.
Sayidina Utsman bin Affan
ra pernah mengungkap lima hal penting sebagai wujud taqwa pada seseorang
yaitu : suka bergaul dengan orang yang baik dalam agamanya serta dapat
mengekang nafsu syahwat dan lisannya; bila ditimpah musibah keduniaan yang
besar dia menganggapnya sebagai ujian; bila ditimpah urusan kecil mengenai
keagamaan dia merasa untung karenanya; tidak menjejali perutnya walaupun
dengan makanan yang halal karena takut tercampur dengan barang haram; dan
pada pandangannya orang lain sudah berhasil membersihkan dirinya sedangkan
dirinya merasa masih kotor.”
3. Berbuat Ihsan
Al Fadhil Ibn ‘Iyadh
berkata :
“Sesungguhnya sesuatu perbuatan apabila benar tetapi tidak ikhlas maka amal itu tidak diterima. Demikian pula apabila dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar (showab) maka amal itupun tidak diterima, jadi harus ikhlas dan benar. Ikhlas artinya hanya karena Allah, dan benar artinya sesuai dengan sunnah Rasul Allah SAW.
Dengan demikian dengan
dua syarat tadi mudahlah mengukur amal kita, termasuk amal yang ihsan (baik)
atau tidak
Berkaitan dengan seruan
berbuat baik, Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya :
Selain itu, disaat
melakukan suatu perbuatan tujuannya harus betul-betul dalam rangka beribadah
kepada Allah SWT; dengan seakan-akan kita melihat-Nya dan apabila kita tidak
dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat kita. Inilah definisi ihsan
dalam beribadah menurut Rasul SAW yang tercantum dalam sebuah hadist
riwayat Imam Muslim. Apabila kita sudah bersikap seperti ini (ihsan) niscaya
dalam setiap melakukan perbuatan akan selalu ikhlas dan benar.
Banyak sekali amal
kebaikan yang dapat dilakukan, baik yang berhubungan dengan Allah seperti
sholat, membaca Al qur'an, shaum, berhubungan dengan diri sendiri seperti
berakhlakul karimah, berpakaian rapi, menjaga diri dari makanan haram,
ataupun berhubungan dengan sesama manusia dalam bermuamalah dan uqubat.
Jangan sekali-kali
menganggap remeh suatu amal kebaikan. Sekecil apapun lakukanlah perbuatan
baik tersebut, tinggalkanlah perbuatan dosa. Ingat pula, jangan menunda-nunda
amal ! Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata: “ jika engkau di
waktu sore janganlah engkau menunggu pagi, dan jika engkau di waktu pagi
janganlah engkau menunggu sore. Pergunakanlah sehatmu untuk beramal sebelum
sakit, dan pergunakanlah hidupmu sebelum mati.”
Sementar itu, Khalifah
Ali Karamaallahu Wajhah berpesan ; “ jadilah kamu sebaik-baik manusia
disisi Allah dan anggaplah kamu sejelek-jelek manusia menurut dirimu sendiri
dan jadilah kamu orang yang berguna di Masyarakat.”
4. Selalu Sabar
Seperti halnya dalam
kehidupan yang lain, dalam medan da'wah pun tidak luput dari tantangan,
ancaman, hambatan, dan gangguan. Semua itu pada hakekatnya merupakan ujian.
Maka sabar merupakan pakaian para pengemban dakwah dimanapun berada dan
kondisi apapun yang tengah dihadapinya. Sabar tidaklah harus berarti berdiam
diri melainkan harus berusaha juga sekuat tenaga untuk menghadapinya. Mereka
yang tidak sabar termasuk orang yang merugi, ia akan cepat frustasi,
marah-marah, stress, bahkan bisa jadi menyalahkan Allah SWT. Naudzu
billahi min dzalik. Sabar bukanlah paket yang disediakan secara Inheren
dalam penciptaan manusia. Sabar hanya akan ada pada mereka yang
mengupayakannya. Anda dapat sabar ataukah tidak, terserah pilihan anda.
Begitu pula saya atau dia. Bagi kita yang hendak menanam kesabaran diri ada
beberapa pengalaman yang dapat dijadikan cermin untuk meraihnya upaya
tersebut antara lain :
Memang kesabaran bukanlah
perkara yang mudah. Sebab, kesabaran memerlukan ketulusan dan kesungguhan
tingkat tinggi. Agar berhasil memilikinya, biasakanlah dan perbanyaklah do'a:
artinya “ Ya Rabb kami, curahkanlah kesabaran kepada kami, dan matikanlah
kami dalam keadaan muslim.” ( Qs. AL-A'raf:222 )
5. Tawakkal
Satu ciri lain orang yang
dicintai Allah SWT adalah orang yang tawakkal. Kaum mukminin di perintahkan
untuk menyerahkan segala urusannya (tawakkal) hanya kepada Allah SWT
(Ali-Imron:122; Al-Maidah:11). Sebelum melakukan segala sesuatu, kita harus
menyerahkan segala macam urusan kita kepada Allah SWT. Jadi bukan berusaha
lalu bertawakkal kepada Allah SWT dalam setiap urusan jauh-jauh sebelumnya
baru berusaha menghadapi sekuat tenaga
6. Mencintai Allah SWT
Agar kita dicintai Allah
SWT, kita harus mencintai-Nya. Wujud cinta kepada Allah adalah cinta kepada
sesama muslim dan keras kepada orang kafir (bukan sebaliknya), siap berjihad,
dan tidak takut terhadap selaan orang yang mencela. Demikian disebutkan dalam
surat Al-Maidah ayat 54. mencintai Allah SWT dilakukan dengan cara mengikuti
jejak langkah Rasulullah SAW dalam segala peri kehidupannya (Ali-Imron:31).
Lembut terhadap sesama muslim dilakukan dengan cara mencintai mereka
sebagaimana mencintai diri kita sendiri, tidak menyakitinya, tidak
mendzaliminya, tidak mengganggu hartanya dan memelihara kehormatannya,
sedangkan keras terhadap orang kafir, terutama dalam hal-hal yang menyangkut
hukum islam. Tidak ada toleransi dalam beragama, yang ada kerukunan antar
umat umat beragama dibawah nauangan kehidupan Islam, dimana Islamlah yang
berkuasa dibumi ini. Adapun jihad merupakan perang untuk meninggikan kalimat
Allah SWT. Seorang pengemban dakwah harus merelakan dirinya untuk mati fi
sabilillah karena diri orang mukmin telah dibeli oleh Allah SWT
(At-Taubah:111). Demikian pula sang istri harus ridho melepas suami dan
anak-anaknya kemedan pertempuran demi tegaknya dinul Islam saat kaum
imperalis menggunakan senjata untuk memporakporandakan Islam, umat dan
negeri-negerinya. Selain itu, Pengemban da'wah harus tahan terhadap celaan
yang dilontarkan kepadanya karena celaan itu sebenarnya muncul dari
orang-orang yang tidak suka kepada Islam
7. Bertaubat,
membersihkan diri dan jiwa
Taubat harus menjadikan
kebiasaan sehari-hari (At-Taubah:112) suatu kebahagiaan bila kita terbiasa
taubat seperti terbiasanya sarapan. Taubat pun bukan hanya sesaat melainkan
harus dilakukan dengan benar-benar sehingga menjadi taubatan nasuha (At-Tahrim:8).
Setidaknya, agar terwujud taubatan nasuha, seorang Muslim harus
menyesali perbuatan dosanya, memohon ampunan kepada Allah SWT dan berniat
sungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya. Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali,
dalam Minhajul ‘Abidin menjelaskan bahwa pembersihan dosa seseorang,
tergantung kepada jenis dosa tersebut. Pertama, bila kesalahan
tersebut karena kelalaian atas kewajiban dari Allah SWT, maka ia harus
beristighfar dan berusaha mengqada segala kelalaiannya itu. Kedua, bila
dosa itu terhadap sesama manusia, maka ia harus berusaha sekuat tenaga untuk
meminta kemanfaatan dan keridhaan orang tersebut. Ketiga, bila dosa
tersebut karena kedzaliman diri sendiri (tidak berhubungan dengan orang lain)
maka ia harus memperbanyak amal shalih agar kelak, amalan buruknya akan
terkalahkan banyaknya oleh amal shalehnya.
Rasulullah yang ma'sum,
tidak kurang dari tujuh puluh kali sehari bertaubat dan memohon ampun
kepada Allah SWT. Bagaimana dengan kita yang penuh dosa dan tidak dilindungi
dari kesalahan ?
Renungan
Itulah beberapa hal yang
dapat membimbing kita untuk menjadi kekasih Allah SWT. Siapapun yang telah
mencurahkan cintanya kepada Allah SWT dan berhasil menjadi kekasih-Nya,
niscaya hasilnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Ini adalah janji Allah
SWT yang disampaikan oleh Nabi SAW.
Suatu waktu Rasulullah
SAW bersabda bahwasannya Allah Ta'ala berfirman :
” Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku maka aku menyatakan perang kepadanya. Sesuatu yang paling kusukai dari apa yang dikerjakan oleh hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku adalah bila ia mengerjakan oleh apa yang telah Kuwajibkan kepadanya. Seseorang itu akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan kesunatan-kesunatan sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku merupakan pendengaran yang ia pergunakan untuk mendengarnya, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk melihatnya, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerangnya, dan Aku merupakan kaki yang ia pergunakan `untuk berjalan. Seandainya ia bermohon kepada-Ku pasti Aku akan mengabulkannya dan seandainya ia berlindung diri kepada-ku paasti aku akan melindunginya.” ( HR.Bkuhari )
Semoga kita diberi
kemudahan untuk menjadi kekasih Allah Pencipta Alam
|
0 comments:
Posting Komentar