Al-Qur’an dan Pengembangan Ilmu Pengetahuaan
Nhingz, BLOG--Bila cuaca cerah, malam ini
kita akan melihat sebuah bintang sangat terang di ufuk Barat. Itulah bintang
paling terang malam ini, Bintang Kejora yang sesungguhnya bukan bintang melainkan
planet Venus. Walau sangat terang, kecerlangannya tidaklah abadi.
Menjelang isya cahayanya ditenggelamkan oleh cahaya bulan pasca purnama.
Tidak lama ia di langit yang tinggi, hanya dalam beberapa jam bintang cemerlang
itu benar-benar terbenam. Muncullah bulan pasca purnama dengan dengan wajah
masih hampir bulat terang menguasai langit malam ini. Tetapi rembulan pun
tak kan abadi. Saat pagi Matahari muncul jauh lebih terang, cahayanya
memucatkan rembulan di ufuk barat menjelang terbenam. Matahari pun tak kekal di
langit, ada saatnya akan terbenam pula.
Bayangkan suasana seperti itu bukan di
tengah kota, tetapi di tengah padang pasir. Bayangkan kita sedang bersama
Nabiyullah Ibrahim ‘alaihi salam yang sedang merenungi makna tauhid, keesaan
Allah, dengan akal langsung dari alam. Allah menceritakan kisah menarik itu di
dalam QS Al-An’am: 76-79
“….Ketika malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Kaum
muslimin yg berbahagia!
Banyak hikmah dapat kita petik dari kisah
Nabi Ibrahim tersebut untuk merenungi ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat Allah di
alam, untuk menemukan hakikat Allah dan mengambil pelajaran darinya. Ya,
membaca ayat-ayat-Nya. Hal yang sama dalam format berbeda diajarkan juga oleh
Malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW pada malam turunnya Al-Qur-an,
Nuzulul Qur-an:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS Al-Alaq:1 – 5).
”Bacalah” bukan sekadar bermakna membaca
ayat-ayat Allah di kitab, tetapi membaca juga ayat-ayat Allah di alam semesta,
ayat-ayat kauniyah. Membaca alam bermakna merenungi ciptaan Allah. Asal
usulnya, prosesnya, hukum-hukum yang berlaku padanya, dan kesudahannya. Itulah
menjadikan intelektualitas manusia berkembang. Kecendekiawanannya lebih
bermakna.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (para cendekia), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (Bila dijumpai sesuatu yang mengagumkan, ia mengembalikannya kepada Allah yang menciptakan): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau”. (Namun dengan menyadari keterbatan ilmu yang berpotensi salah dalam penjelajahan inetelektualnya sehingga senantiasa ia mohon ampunan Allah), “maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Pada ayat tersebut Allah mengajarkan kita
semua untuk menjadi “ulil albab”, orang yang senantiasa menggunakan akalnya.
Menjadi cendekiawan yang senantiasa membaca alam. Empat cirinya: berdzikir,
berfikir, bertauhid, dan beristighfar. Senantiasa berdzikir (ingat) kepada
Allah dalam segala situasi. Tak jemu berfikir tentang segala fenomena alam.
Bertauhid mengesakan Allah yang menciptakan alam ini. Tak lupa beristighfar
atas kemungkinan lalai dan salah dalam pemikirannya.
Membaca alam secara mendalam kemudian
menganalisisnya, merumuskannya, dan mengujinya akan menghasilkan sains, ilmu
pengetahuan. Al-Quran mendorong umat Islam untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Ayat pembuka saat turunnya Al-Quran ”iqra, bacalah”, menjadi
motivasi utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mestinya juga menjadi
pendorong untuk melahirkan inovasi.
Ada tiga peran utama sains yang juga
diajarkan Al-Qur-an. Pertama, peran sains menjawab keingintahuan manusia.
Keingintahuan utama adalah asal-usul sesuatu dan mekanisme kejadian di alam.
Beberapa hal diisyaratkan di dalam Al-Quran untuk renungan bagi manusia untuk
memikirkannya. Kedua, peran sains melandasi pengembangan teknologi yang
memudahkan manusia. Sepanjang sejarah manusia, teknologi dikembangkan untuk
memudahkan aktivitas manusia. Perilaku alam yang dikaji sains banyak
menginspirasi pengembangan teknologi. Beberapa ayat Al-Quran pun memberi
tantangan untuk menguasai teknologi untuk mengungkap rahasia alam. Ketiga,
menurut ajaran Islam sains juga berperan membantu mendekatkan diri kepada
Allah.
Kaum
muslimin yg berbahagia!
Pertanyaan paling mendasar umat manusia
adalah tentang asal-usul alam semesta dan segala isinya. Keingintahuan yang
pokok inilah yang mendorong manusia mengkaji rahasia alam. Al-Quran merangkum
asal-usul alam semesta itu dengan isyarat tentang ”enam hari penciptaan”. Sains
yang dikembangkan dalam mengkaji fenomena alam kemudian kita balikkan untuk
mencoba memahami isyarat ungkapan-ungkapan dalam Al-Quran
Alam diciptakan Allah dalam enam masa (Q.S.
Fushshilat:9-12), dua masa untuk menciptakan langit sejak berbentuk dukhan
(campuran debu dan gas), dua masa untuk menciptakan bumi, dan dua masa (empat
masa sejak penciptaan bumi) untuk memberkahi bumi dan menentukan makanan bagi
penghuninya. Ukuran lamanya masa (“hari”, ayyam) tidak dirinci di
dalam Al-Qur’an. Belum ada penafsiran pasti tentang enam masa itu. Namun,
berdasarkan kronologi saintifik tentang evolusi alam semesta dengan dipandu
isyarat di dalam Al-Qur-an (Q.S. Fushshilat:9-12 dan Q.S. An-Nazia’at:27-32)
kita coba fahami enam masa itu sebagai enam tahapan proses sejak penciptaan
alam sampai hadirnya manusia.
Masa pertama dimulai dengan ledakan besar (big
bang) (Q.S. Al-Anbiya:30, langit dan bumi asalnya bersatu) sekitar 13,7
milyar tahun lalu.
Dan Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
Inilah awal terciptanya materi, energi, dan
waktu. “Ledakan” itu pada hakikatnya adalah pengembangan ruang yang dalam
Al-Quran disebutkan bahwa Allah kuasa meluaskan langit (Q.S. Adz-Dzariyat:47).
Materi yang mula-mula terbentuk adalah hidrogen yang menjadi bahan dasar
bintang-bintang generasi pertama. Hasil fusi nuklir antara inti-inti Hidrogen
menghasilkan unsur-unsur yang lebih berat, seperti karbon, oksigen, sampai
besi.
Masa yang ke dua adalah pembentukan
bintang-bintang yang terus berlangsung. Dalam bahasa Al-Quran disebut
penyempurnaan langit. Dukhan (debu-debu dan gas antarbintang, Q. S.
Fushshilat:11) pada proses pembentukan bintang akan menggumpal memadat. Bila
intinya telah cukup panasnya untuk memantik reaksi fusi nuklir, maka mulailah
bintang bersinar. Kelak bila bintang mati dengan ledakan supernova, unsur-unsur
berat hasil fusi nuklir akan dilepaskan. Selanjutnya unsur-unsur berat yang
terdapat sebagai materi antarbintang bersama dengan hidrogen akan menjadi bahan
pembentuk bintang-bintang generasi berikutnya, termasuk planet-planetnya. Di
dalam Al-Qur’an penciptaan langit kadang disebut sebelum penciptaan bumi dan
kadang disebut sesudahnya karena prosesnya memang berlanjut.
Itulah dua masa penciptaan langit. Dalam
bahasa Al-Qura’an, big bang dan pengembangan alam yang menjadikan
galaksi-galaksi tampak makin berjauhan (makin “tinggi” menurut pengamat di
bumi) serta proses pembentukan bintang-bintang baru disebutkan sebagai
“Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya.” (Q.S. An-Nazi’at:28)
Masa ke tiga dan ke empat dalam penciptaan
alam semesta adalah proses penciptaan tata surya termasuk bumi. Proses
pembentukan matahari sekitar 4,6 milyar tahun lalu dan mulai dipancarkannya
cahaya dan angin matahari itulah masa ke tiga penciptaan alam semesta.
Proto-bumi (‘bayi’ bumi) yang telah terbentuk terus berotasi yang menghasilkan
fenomena siang dan malam di bumi. Itulah yang diungkapkan dengan indah pada
ayat lanjutan pada Q.S. An-Nazi’at:29,
“Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang.”
Masa pemadatan kulit bumi agar layak bagi
hunian makhluk hidup adalah masa ke empat. Bumi yang terbentuk dari debu-debu
antarbintang yang dingin mulai menghangat dengan pemanasan sinar matahari dan
pemanasan dari dalam (endogenik) dari peluruhan unsur-unsur radioaktif di bawah
kulit bumi. Akibat pemanasan endogenik itu materi di bawah kulit bumi menjadi
lebur, antara lain muncul sebagai lava dari gunung api. Batuan basalt yang
menjadi dasar lautan dan granit yang menjadi batuan utama di daratan merupakan hasil
pembekuan materi leburan tersebut. Pemadatan kulit bumi yang menjadi dasar
lautan dan daratan itulah yang nampaknya dimaksudkan “penghamparan bumi” pada
Q.S. An-Nazi’at:30,
“Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya”.
Menurut analisis astronomis, pada masa awal
umur tata surya gumpalan-gumpalan sisa pembentukan tata surya yang tidak
menjadi planet masih sangat banyak bertebaran. Salah satu gumpalan raksasa, 1/9
massa bumi, menabrak bumi menyebabkan lontaran materi yang kini menjadi bulan.
Akibat tabrakan itu sumbu rotasi bumi menjadi miring 23,5 derajat dan atmosfer
bumi lenyap. Atmosfer yang ada kini sebagian dihasilkan oleh proses-proses di
bumi sendiri, sebagian lainnya berasal dari pecahan komet atau asteroid yang
menumbuk bumi. Komet yang komposisi terbesarnya adalah es air (20% massanya)
diduga kuat merupakan sumber air bagi bumi karena rasio Deutorium/Hidrogen
(D/H) di komet hampir sama dengan rasio D/H pada air di bumi, sekitar 0.0002.
Hadirnya air dan atmosfer di bumi sebagai prasyarat kehidupan merupakan masa ke
lima proses penciptaan alam.
Pemanasan matahari menimbulkan fenomena
cuaca di bumi: awan dan halilintar. Melimpahnya air laut dan kondisi atmosfer
purba yang kaya gas metan (CH4) dan amonia (NH3) serta sama sekali tidak
mengandung oksigen bebas dengan bantuan energi listrik dari halilintar diduga
menjadi awal kelahiran senyawa organik. Senyawa organik yang mengikuti aliran
air akhirnya tertumpuk di laut. Kehidupan diperkirakan bermula dari laut yang
hangat sekitar 3,5 milyar tahun lalu berdasarkan fosil tertua yang pernah
ditemukan. Di dalam Al-Qur’an Q.S. Al-Anbiya:30 memang disebutkan semua makhluk
hidup berasal dari air.
Lahirnya kehidupan di bumi yang dimulai dari
makhluk bersel tunggal dan tumbuh-tumbuhan merupakan masa ke enam dalam proses
penciptaan alam. Hadirnya tumbuhan dan proses fotosintesis sekitar 2 milyar
tahun lalu menyebabkan atmosfer mulai terisi dengan oksigen bebas. Pada masa ke
enam itu pula proses geologis yang menyebabkan pergeseran lempeng tektonik dan
lahirnya rantai pegunungan di bumi terus berlanjut.
Tersedianya air, oksigen, tumbuhan, dan
kelak hewan-hewan pada masa ke lima dan ke enam itulah yang agaknya dimaksudkan
Allah memberkahi bumi dan menyediakan makanan bagi penghuninya (Q.S.
Fushshilat:10). Di dalam Q.S. An-Nazi’at:31-33 hal ini diungkapkan sebagai
penutup kronologis enam masa penciptaan,
“Ia memancarkan dari padanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh‑tumbuhannya. Dan gunung‑gunung dipancangkan‑Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang‑binatang ternakmu”.
Al-Quran memberi isyarat banyak fenomena
alam yang menjadi tantangan sains untuk mengungkapkannya. Tetapi manusia punya
keterbatasan ilmu. Penafsiran dengan sains yang terus berkembang bukanlah
memutlakkan pemahaman tunggal atas makna ayat-ayat Al-Quran yang terkait dengan
fenomena alam. Menggali ’izzah Al-Quran (mukjizat Al-Quran) bukan pula untuk
menghasilkan sains baru. Sains adalah temuan yang harus bisa dibuktikan oleh
siapa pun.
Kaum
muslimin yg berbahagia!
Al-Quran dengan isyaratnya mendorong
eksplorasi antariksa dengan sains tentang perilaku orbit benda langit dan sifat
fisis lainnya untuk pengembangan wahana antariksa.
“Hai jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan. QS Ar-Rahman:33).
Menembus penjuru langit dan bumi harus
dengan kekuatan. Kekuatan itu adalah sains dan teknologi. Bangsa yang kuat
adalah bangsa yang kokoh dalam penguasaan sains dan teknologi. Langit pun bisa
dikuasai. Pesawat terbang, roket, dan satelit mutlak diperlukan untuk
menguasaai langit yang pada gilirannya akan menguasai penjuru bumi. Teknologi
antariksa kini digunakan untuk memudahkan komunikasi navigasi segenap penjuru
bumi, mengamati perilaku alam, dan mengeksplorasi kandungan sumber dayanya.
Bangsa kita pun sedang berupaya membangun
kekuatan seperti itu, walau dengan segala keterbatasan namun dengan motivasi
tinggi. Sejak peluncuran Satelit Palapa 1976, kita telah memasukki era satelit
dan kini tak mungkin lepas dari ketergantungan pada teknologi satelit. Bukan
hanya untuk telekomunikasi, tetapi juga untuk penginderaan jauh dan navigasi.
Salah satu keunggulan suatu bangsa diukur juga dari kemandiriannya dalam
teknologi antariksa. Dalam hal penerapan teknologi terbaru, boleh jadi sektor
swasta telah mengambil peran sangat besar. Tetapi dalam hal kemandirian, peran
pemerintah menjadi dominan. Alhamdulillah, LAPAN sebagai lembaga pemerintah
untuk litbang keantariksaan telah merintis pembuatan satelit yang kini telah
berada di orbit pada ketinggian 630 km, Satelit LAPAN-TUBsat. Kini sedang
mempersiapkan satelit kembar Twinsat (LAPAN-A2 dan LAPAN-Orari) yang diharapkan
bisa diluncurkan tidak lama lagi. Kemandirian pembuatan roket peluncur satelit
kini juga sedang diupayakan. Upaya-upaya tersebut dengan dukungan penguasaan
teknologi penginderaan jauh dan sains kedirgantaraan, berorientasi pada
peningkatan kemandirian dan kesejahteraan bangsa, selain juga untuk
merealisasikan tantangan Al-Quran untuk ”menembus penjuru langit dan bumi”.
Kaum
muslimin yg berbahagia!
Dalam Islam, sains bukan saja untuk
kepentingan intelektual menjawab keingintahuan manusia dan menjadi dasar
pengembangan teknologi yang memudahkan aktivitas keseharian. Sains juga bisa
kita gunakan membantu menyempurnakan kualitas ibadah, tanpa mencampuri
keyakinan dalil syar’i yang diyakini masing-masing.
Matahari banyak mengajarkan kita banyak hal.
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari (QS Asy-Syams:1)”
Matahari di kaki langit mengajarkan
relativitas manusia. Matahari di kaki langit yang tampak besar hanyalah ukuran
semu karena pembandingnya (bukit, gedung, atau pohon) tampak mengecil di
kejauhan. Sedangkan matahari saat tengah hari tampak kecil karena dibandingkan
dengan langit yang luas. Sains mengungkapkan makna itu untuk mamahami hikmah
yang ditegaskan pada ayat-ayat berikutnya,
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Ukuran relatif manusiawi sering menyebabkan
kekotoran jiwa kita dengan keangkuhan dan sikap keunggulan, disamping sikap
inferior yang cenderung mengingkari nikmat Allah. Matahari di kaki langit
mengajarkan hikmah untuk berfikir jernih dalam menilai sesuatu. Matahari juga
memberi pelajaran penting untuk kita ambil hikmahnya. Spektrum cahayanya
yang sebenarnya beraneka menyatu seolah tanpa warna. Keberagamannya hanya
ditampakan untuk menunjukkan keindahan warna pelangi dan beragam warna di alam
ini. Matahari mengajarkan dalam hidup pun tak lepas dari keberagaman.
Keberagaman tak perlu dileburkan, karena itu memberikan keindahan dengan beragam
warna kehidupan. Tetapi bila diperlukan keberagaman dapat pula dipersatukan
menjadi tanpa warna demi kesatuan yang menentramkan.
Kita sering menghadapi perbedaan yang kadang
meresahkan. Ambil contoh, dalam penetapan awal Ramadhan dan hari raya, kita dihadapkan
pada keberagaman interpretasi dalil fikih yang berdampak pada perbedaan
penentuan harinya. Sains dapat menjadi solusi menjembatani perbedaan pendapat
seperti itu dalam implementasi ibadah yang berakar pada interpretasi dalil yang
bersifat ijtihadiyah, tanpa mencampuri keyakinan dalil syari’i. Sehingga dengan
sains kita bisa lebih menyempurnakaan ibadah kita dalam mendekatkan diri kepada
Allah
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang yang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Kaum
muslimin yg berbahagia!
Demikianlah, Al-Quran berperan mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan dan sebaliknya ilmu pengetahuan berperan memahami
makna-makna tersembunyi pada ayat-ayat-Nya dan membantu menyempurnakan ketaatan
kita kepada Allah.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Oleh: Profesor
Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
0 comments:
Posting Komentar