Ilmu Fiqh
Nhingz, BLOG--Postingan pertama untuk artikel islam ini yaitu Ilmu Fiqh... berikut:
I. PENGERTIAN ILMU FIQIH
Firman
Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;
“Maka
apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber
“tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan
kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga
batas perintah dan larangan Allah).”
Hadits
Nabi :
“Barangsiapa
dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya
diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR.
Bukhari-Muslim).
Ilmu fiqih
adalah Ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang
berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah,
makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk Ilmu
fiqih
adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari
sumbernya dipelajari dalam ilmu
“Ushul Fiqih”.
II. FAKTOR-FAKTOR PERBEDAAN PENDAPAT
Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan pendapat adalah sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor yang menyangkut bahasa:
Terkadang dalam teks-teks syari’at terdapat
“lafazh musyrarak” (kata yang
mempunyai banyak makna), seperti kata “‘ain yang bisa berarti “mata”,
“barang”,“emas murni” dan lain sebagainya. Jika
dalam teks syari’at terdapat kata yang tidak terkait dengan konteks tertentu,
maka makna-makna yang ada bias digunakan seluruhnya ,tergantung masing masing mujtahid mau menggunakan yang mana.
Misalnya para ahli fiqih berbeda pendapat dalam memaknai kata “al-qur`” dalam ayat 228 dari surat
al-Baqarah. Kata “al-qur`” bisa dimaknai “ath-thuhr” (masa suci) atau bisa juga
“al-haydh” (masa haid). Di sini para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai iddah wanita yang
ditalak suaminya, apakah dengan tiga kali suci atau yang dengan tiga kali haid?
Para ahli fiqih di Hijaz berpendapat bahwa iddah wanita yang ditalak suaminya adalah tiga kali suci, sedangkan para
ahli fiqih Irak berpendapat tiga kali haid.[12]
Dan terkadang ada suatu kata dalam teks syari’at yang bermakna haqîqîy dan majâzîy. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih mana di antara kedua makna tersebut yang lebih bisa gunakan.[13]
Misalnya kata “al-mîzân” dalam ayat 7 dari surat ar-Rahmân. Ada sebagian yang lebih memilih makna majâzîy, yaitu “keadilan”. Dan ada juga sebagian yang memilih makna haqîqîy, yaitu “timbangan”.
Dan terkadang ada suatu kata dalam teks syari’at yang bermakna haqîqîy dan majâzîy. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih mana di antara kedua makna tersebut yang lebih bisa gunakan.[13]
Misalnya kata “al-mîzân” dalam ayat 7 dari surat ar-Rahmân. Ada sebagian yang lebih memilih makna majâzîy, yaitu “keadilan”. Dan ada juga sebagian yang memilih makna haqîqîy, yaitu “timbangan”.
2. Faktor-faktor yang menyangkut periwayatan as-Sunnah:
Sebagian besar perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan
ulama salaf bermuara
di sini. Terkadang sebuah hadits tidak sampai kepada mujtahid tertentu,
sehingga dia berfatwa berdasar makna tekstual ayat atau hadits lain, atau
dengan melakukan qiyas (analogi) terhadap kejadian yang pernah terjadi di masa
Rasulullah saw. hidup, atau dengan yang lain.
Terkadang sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid, akan tetapi dia menemukan kekurangan di dalamnya yang membuat dia enggan mengamalkannya. Misalnya dia meragukan keshahihan sanad hadits tersebut karena terdapat perawi yang majhûl, atau lemah dalam menghafal silsilah isnadnya, atau karena maqtû’ atau mursal.
Terkadang sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid, akan tetapi dia menemukan kekurangan di dalamnya yang membuat dia enggan mengamalkannya. Misalnya dia meragukan keshahihan sanad hadits tersebut karena terdapat perawi yang majhûl, atau lemah dalam menghafal silsilah isnadnya, atau karena maqtû’ atau mursal.
3. Faktor-faktor yang menyangkut pertentangan
antara hadits yang satu dengan yang
lainnya.
Para ahli fiqih bisa saja berbeda pendapat
mengenai makna-makna hadits, misalnya mereka berbeda dalam masalah
“al-muzâbanah”, “al-mukhâbarah”, “al-muhâqalah”, “al-mulâmasah”,
“al-munâbadzah”, dan “al-gharar” karena perbedaan mereka dalam menafsirkannya.
Terkadang ada sebuah hadits yang sampai
kepada seorang mujtahid dengan suatu lafazh, dan sampai kepada mujtahid lain
dengan lafazh yang berbeda. Misalnya salah satu dari
keduanya menghapus sebuah kata yang mana makna hadits tersebut menjadi tidak
sempurna kecuali dengan kata itu.
Kadang-kadang ada sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid disertai dengan asbâbul wurûd-nya, dan sampai kepada mujtahid lain tanpa disertai dengan itu sehingga membuat pemahamannya berbeda dengan yang pertama.
Terkadang ada seorang perawi yang menerima sebuah hadits secara lengkap, sementara perawi lain tidak. Maka tak nyana ini akan berpengaruh pada pemahaman keduanya. Kadang juga seorang mujtahid menganggap sebuah hadits telah dinasakh, atau ditakhshîsh, atau ditaqyîd, sementara mujtahid lain tidak beranggapan demikian. Maka sudah tentu ini akan membuat pendapat keduanya berbeda.
Kadang-kadang ada sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid disertai dengan asbâbul wurûd-nya, dan sampai kepada mujtahid lain tanpa disertai dengan itu sehingga membuat pemahamannya berbeda dengan yang pertama.
Terkadang ada seorang perawi yang menerima sebuah hadits secara lengkap, sementara perawi lain tidak. Maka tak nyana ini akan berpengaruh pada pemahaman keduanya. Kadang juga seorang mujtahid menganggap sebuah hadits telah dinasakh, atau ditakhshîsh, atau ditaqyîd, sementara mujtahid lain tidak beranggapan demikian. Maka sudah tentu ini akan membuat pendapat keduanya berbeda.
4. Faktor-faktor yang menyangkut kaidah-kaidah ushuliyah
dan acuan-acuan penyimpulan hukum:
Ilmu ushul fiqih merupakan sekumpulan
kaidah dan acuan yang dibuat oleh para mujtahid untuk lebih mengakuratkan
proses ijtihad dan penyimpulan hukum-hukum syari’at yang sifatnya furu’iyah
dari dalil-dalil tafshiliyah (terperinci), yang mana para mujtahid menetapkan dalam metode-metode ushuliyah
mereka dalil-dalil yang darinya dapat disimpulkan hukum-hukum, kemudian mereka
menentukan cara-cara penyimpulan hukum syari’at dari setiap dalil yang ada,
juga langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk sampai kepada hukum syari’at yang
dimaksud.
Setiap madzhab atau aliran mempunyai
kaidah-kaidah dan acuan-acuannya masing-masing. Ada madzhab yang
berpendapat bahwa fatwa seorang sahabat Nabi saw kalau sudah populer dan tidak
ada satu pun yang menentangnya—dari para sahabat sendiri—bisa digunakan sebagai
hujjah, karena para sahabat tidak akan mengeluarkan fatwa kecuali berlandaskan
pada sebuah dalil, atau pemahaman mereka terhadapnya, atau berdasarkan apa yang
mereka dengar dari Rasulullah saw.
Sebagian mujtahid ada yang menggunakan
al-mashâlih al-mursalah, yaitu hal-hal yang di dalam syari’at tidak terdapat
sesuatu yang menunjukkan keberadaannya, sebagaimana tidak terdapat sesuatu yang
menunjukkan penghapusan terhadapnya. Jika seorang mujtahid menemukan dalam
hal-hal tersebut sesuatu yang menjamin kemaslahatan, maka dia akan berpendapat
berdasar maslahat tersebut dengan anggapan bahwa syari’at digariskan hanya
untuk menjamin kemaslahan manusia.
Ada juga beberapa hal lain yang hingga
saat ini masih menjadi obyek perdebatan di kalangan ahli fiqih atau mujtahid,
seperti Istishlâh (pencapaian maslahat), Istihsân (kebaikan yang dicapai dengan
rasio), Istish-hâb (penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), syar’ man
qablanâ (syari’at agama pra-Islam), sadd adz-dzarâ`i’ (tindakan preventif),
‘amal ahl al-Madînah (tradisi penduduk Madinah), ‘urf (adat istiadat), istiqrâ`
(observasi), al-akhdz bi aqall mâ qîla (pengambilan ukuran minimal yang
dikemukakan), al-akhdz bil ahwath (pengambilan yang lebih hati-hati) dan lain
sebagainya.
5. Faktor-faktor yang menyangkut Sumber hukum yang berbeda
A. Perbedaan
memahami Al-Qur’an
Ø Adanya
ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
Ø Adanya
ayat-ayat yang masih mujmal (global).
Ø Adanya
ayat-ayat yang ‘Am (umum)
Ø Adanya
perbedaan penafsiran cakupan
Ø Adanya
perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
Ø Adanya
perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
Ø Perbedaan
pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
B.
Perbedaan Memahami Hadits
Ø Perbedaan
penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
Ø Perbedaan
penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
Ø Perbedaan
sampainya hadits kepada para Mujtahid. Perbedaan penafsiran matan
(redaksi) suatu hadits.
Ø Perbedaan
penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
Ø Perbedaan
perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan
qiyas dan atau illat syari’ah
C.
Perbedaan Metode Ijtihad.
1. Imam Abu Hanifah :
a. Berpegang
pada dalalatul Qur’an
Ø Menolak
mafhum mukhalafah
Ø Lafz
umum itu statusnya Qat’i selama belum ditakshiskan
Ø Qiraat
Syazzah (bacaan Qur’an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b.
Berpegang pada hadis Nabi
Ø Hanya
menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan
oleh ahli fiqh)
Ø Tidak
hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c.
Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d.
Berpegang pada Qiyas
Ø mendahulukan
Qiyas dari hadis ahad
e.
Berpegang pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada sebab
khusus yang lebih kuat).
2. Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
Ø zhahir
Nash
Ø menerima
mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c.
Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah
daripada hadis ahad)
d. Qaul shahabi
e.
Qiyas
f. Istihsan
g. Mashlahah
al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan
intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan
pengakuannya).
3. Imam Syafi’i
a. Qur’an
dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an dan
Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu
matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi’i digelari “Nashirus
Sunnah”. Konsekuensinya, menurut Syafi’i, hukum dalam teks hadis boleh jadi
menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an dalam kasus tertentu)
b.
Ijma’
c. hadis
ahad (jadi, Imam Syafi’i lebih mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e. Beliau
tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai
dasar ijtihadnya
4. Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush
(yaitu Qur’an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak
menaruh Hadis dibawah al-Qur’an) menolak ijma’ yang berlawanan dengan hadis
Ahad (kebalikan dari Imam Syafi’i)
menolak
Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
b. Berpegang pada Qaulus
shahabi (fatwa sahabat)
c. Ijma’
d. Hadis dhaif
e. Qiyas
Ketentuan
Hukum (Mahkum Bih)
A. Wajib yaitu pekerjaan yang
bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum wajib terbagi menjadi :
1. Wajib
Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya, contoh :
wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’.
2. Wajib
Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa
ramadhan.
3. Wajib
Muwassa’ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu,
sholat isak dari petang sampai subuh.
4. Wajib
Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya dan
berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
5.
Wajib Dzu Syabahain = wajib muwassa’ sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu mulainya
sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
6. Wajib
‘ain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan
oleh atau kepada orang lain.
7.Wajib
Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila sebagian
individu sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu yang lain, contoh :
mengurus jenazah.
8. Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan
kadarnya, contoh : zakat.
9. Wajib
Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah,
wakaf.
10. Wajib
Mu’aiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah
dalam shalat.
11.
Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
12. Wajib Muaddaah= Wajib yang ditunaikan dalam waktunya
ada’an.
13. Wajib
Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qada’an.
14. Wajib
Mu’aad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang sempurnanya
yang ditunaikan pertama.
B.
Sunnat yaitu
bila dikerjakan mendapat pahala dan Bila
ditinggalkan mendapat dosa.
Pembagian Sunnat :
1. Sunnat
Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan
dan jama’ah.
2. Sunnat
Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan, contoh :
makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila
ditinggalkan.
3. Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering
dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib, shalat
tahajud.
4. Sunnat
Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat
sunnat 4 rakaat sebelum duhur.
C. Mubah yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1. Jangan berlebihan.
2. Jangan
membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada
maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang
lain.
3. Jangan
sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
D. Makruh yaitu bila dikerjakan tidak dicela,
tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian Makruh :
1. Makruh Tanzih = makruh yang tidak
dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila
ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2. Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada
haram, yaitu haram yang dalilnya belum qath’i (pasti) yaitu dari hadits ahad.
E. Haram yaitu bila dikerjakan mendapat dosa,
contohnya : meninggalkan shalat
lima waktu, makan daging babi.
Obyek
Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum ‘Alaih)
Obyek hukum dalam fiqih adalah beban pekerjaan kepada para
mukallaf (orang dewasa dan berakal sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila
memenuhi beberapa syarat :
a.
Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.
b.
Sanggup dikerjakan.
c.
Dapat dibedakan.
d.
Diketahui berdasarkan dalil.
e.
Untuk melaksanakan taat (ibadah).
Subyek hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani
hukum). Seseorang mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa
syarat :
a.
Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b.
Baligh (dewasa).
c.
Berakal (sadar dan waras).
Halangan – halangan :
1.
Gila
2. Setengah
gila
3. Lupa
4.
Tidur
5. Pingsan
6. Mabuk
7.
Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8. Haid
9.
Nifas
10.
Mati
11. Safar (bepergian),
halangan untuk wajibnya shalat jum’at
12. Silap (tidak sengaja)
13. Paksaan
14. Hujan, halangan untuk shalat berjama’ah.
15. Tua renta pikun.
BAB II
THAHARAH
A. PENGERTIAN THAHARAH
Kata thaharah berasal dari bahasa Arab yang berarti
bersici. Dalam istlah
Islam diartikan membersihkan badan, pakaian dan tempat tinggal kita, sebelum
kita melaksanakan ibadah. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang
menganjurkan kita menjaga kebersihan dan kesucian, diantaranya :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
|
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
|
“Dan bersihkan pakaian dan jauhilah perbuatan yang kotor
(dosa). (Q.S. Mudatstsir : 4-5).
B. MACAM-MACAM AIR
DAN PEMBAGIAN
Air
yang bisa dipergunakan untuk bersuci jumlah ada tujuh macam, yaitu
:
1.Air
hujan
2. Air laut
3. Air sungai
4. Air sumur
5. Air sumber
6. Air es (air dari salju yang telah mencair)
7. Air embun
Pembagian
air sebagaimana tertera di bawah ini, yaitu :
1. Air suci dan mensucikan (air muthlaq), yaitu air suci yang dapat mensucikan.
2. Air suci, tetapi tidak mensucikan, berarti zatnya suci tetapi tidak sah
dipakai untuk mensucikan
sesuatu.
3. Air yang makruh dipakai yaitu air yang terjemur pada sinar matahari dalam
bejana selain emas dan perak.
4. Air yang terkena najis.
B.
NAJIS
DAN CARA PENYUCIANNYA
a). Pengertian Najis
Perkataan Najis berasal dari bahasa
Arab, yang mengandung arti sesuatu yang kotor atau tidak bersih. Sedangkan
menurut arti syara’ ialah sesuatu yang mencegah syahnya shalat.
b). Benda-benda
Najis
Benda-benda
yang termasuk najis diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bangkai binatang
2. Darah
3. Nanah
4. Muntah
5. Segala sesuatu yang keluar dari alat buang air kecil dan air besar (Qubul
dan Dubur).
6. Arak
7. Babi dan Anjing
c). Cara
membersihkan Benda Najis
Cara membersihkan atau mensucikan benda yang kena najis,
dapat dibedakan sesuai dengan jenis najis benda yang dikenainya. Lebih jelasnya
diperinci sebagai berikut :
1. Apabila najis itu dapat kita lihat,
seperti kotoran, darah dan sebagainya, badan, pakaian atau tempat kita, maka
cara membersihkannya ialah kita menggosok najis itu kemudian menyiraminya
dengan air, sekali atau beberapa kali.
2.
Apabila
najis itu tidak dapat kita lihat, seperti air kencing yang telah kering, maka cara membersihkannya ialah kita
menyiram najis itu sekali atau beberapa kali.
3. Apabila barang yang terkena najis itu barang
cair, selain air, bila dalam keadaan kental, maka kita membuang sebagian yang
kena najis itu, apabila keadaannya cair maka kita tidak dapat menggunakannya
secara keseluruhan.
4. Membersihkan tanah yang kena najis
ialah dengan menuangkan air diatas tanah itu.
5. Apabila benda yang terkena najis itu
berupa benda yang keras dan mengkilap, seperti cermin atau pedang dan
sebagainya, maka cara membersihkan cukup dengan menggosokkan benda tersebut.
6. Apabila benda yang kena najis itu
berupa sandal atau sepatu, maka cara menghilangkannya cukup dengan menempel itu
menjadi hilang..
7. Apabila
anjing menjilat bejana (tempat makan dan minum kita, maka cara membersihkannya
ialah kita membasuh bejana itu sampai tujuh kali, satu diantaranya
mempergunakan tanah, sebagaimana disebutkan dalam hadits terdahulu.
C. ISTINJA
Istinja artinya bersuci sesudah keluar
kotorannya (kencing atau berak), yaitu dengan cara menggunakan air atau dengan
tiga buah batu, apabila tidak terdapat air.
D. MANDI
Mandi manurut syara’
ialah meratakan air ke seluruh badan untuk membersihkan atau menghilangkan
hadats besar.
a.
Rukun Mandi
Rukun mandi ada 4 macam yaitu :
1.
Niat, orang yang junub hendaknya berniat menghilangkan hadats junubnya, perempuan
yang baru habis (selesai) haidnya.
2. Menyampaikan air ke seluruh tubuh
(rambut dan kulit).
3. Membasuh badan.
4. Menghilangkan najis yang ada pada
badan.
E. WUDLU’
a. Pengertian Wudlu
Wudlu menurut lughat
berarti bersih dan indah. Menurut syara’ berarti membersihkan anggota-anggota
wudlu’ untuk menghilangkan hadats kecil.
Wudlu’ adalah suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum seseorang mengerjakan shalat.
Wudlu’ adalah suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum seseorang mengerjakan shalat.
b. Syarat-syarat
Wudlu
Ada beberapa syarat yang berhubungan dengan pelaksananya
wudlu,
baik berupa syarat wajib ataupun syarat sah:
1. Islam
2. Mumayyiz, yaitu orang yang suka
dapat membedakan antara
yang
baik dan yang buruk.
3.
Tidak berhadats besar.
4.Mempergunakan
air yang suci dan mensucikan.
5.
Tidak ada satu benda yang dapat menghalangi sampainya air pada anggota wudlu
(kulit), seperti getah, minyak dan sebagainya.
Adapun rukun wudlu’ itu adalah sebagai berikut :
1. Niat wudlu
2. Membasuh muka
3. Membasuh
dua belah tangan sampai siku-siku
4. Menyapu sebagian dari rambut kepala
5. Membasuh dua belah kaki sampai kedua mata kaki
6. Tertib, artinya menurut aturan mulai
nomor satu (1) sampai nomor (5).
F. TAYAMUM
a. Pengertian Tayamum
Tayamum ialah menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan
sampai siku dengan beberapa syarat. Arti tayamum sendiri menurut bahasa adalah
menuju, sedangkan menurut istilah syara’ ialah mempergunakan tanah yang bersih
guna menyapu muka dan tangan untuk menghilangkan hadats menurut cara yang
ditentukan oleh syara’.
Orang
yang diperolehkan tayamum adalah
:
1.
Orang yang sedang sakit bila terkena air bagian anggota wudlu’nya akan
bertambah sakitnya menurut keterangan dokter.
2.
Karena dalam perjalanan dan sangat sulit untuk mendapatkan air.
3.
Karena tdak ada air.
b. Syarat-syarat Tayamum
Tayamum supaya syah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1. Telah masuk waktu shalat.
2.
Sudah berusaha mencari air, tetapi tidak mendapatkannya sedang waktu shalat
sudah masuk.
3.
Dengan menggunakan tanah/debu yang bersih.
4.
Akan lama sembuhnya atau bertambah parah sakitnya bila anggota wudlu’nya
terkena air.
5.
Tidak ada air.
c.
Rukun Tayamum
1.
Niat, hendaknya seorang yang akan melakukan tayamum berniat karena hendak
mengerjakan shalat dan sebagiannya bukan semata-mata untuk menghilangkan hadats
saja, karena sifat tayamum tidak dapat menghilangkan hadats, hanya dibolehkan
untuk melakukan shalat karena darurat. Keterangan
bahwa niat tayamum wajib hukumnya adalah hadits yang mewajibkan niat wudlu.
2. Menyapu muka dengan tanah.
3. Menyapu kedua tangan sampai siku dengan tanah.
4. Menerbitkan rukun-rukun.
G. QURBAN
Qurban atau udliyah adalah hewan yang
disembelih untuk ibadah pada hari raya Adlha dan hari-hari Tasyriq, yaitu
tanggal 11, 12, dan 14 Dzulhijjah.
الْكَوْثَرَ أَعْطَيْنَاكَ إِنَّا
وَانْحَرْ لِرَبِّكَ فَصَلِّ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan
kamu kebijakan yangbanyak,
maka kerjakanlah shalat karena Tuhanmu, dan sembelilah qurban” (Q.S. Al Kautsar
: 1-2)
Hewan yang dikurbankan ialah hewan yang
baik, sehat tidak cacat, seperti pincang, kurus, sakit, matanya buta,
telinganya putus, ekornya putus dan lain sebagainya.
Mengenai daging qurban, dapat dibedakan
menjadi dua bagian yaitu :
1. Daging qurban wajib
1. Daging qurban wajib
Qurban yang wajib seperti qurban nadzar
(janji yang pernah diucapkan). Daging qurban nadzar harus
dibagikan/disedelahkan kepada semua orang. Sedangkan orang yang berkorban tidak
boleh memakan dagingnya, atau mengambil kulit atau tanduknya.
2.Daging
qurban sunnat
Daging
qurban sunnat ialah qurban seperti biasa yang dilakukan pada setiap hari raya
qurban. Daging qurban sunnat dapat diserahkan menjadi tiga. Satu bagian
disedekahkan satu bagian lagi dimakan sendiri bagi orang yang berkorban dan
sebagian lagi dihadiahkan. Bahkan menurut sebagian ‘Ulama, bahwa memakan daging
qurban bagi orang yang berkorban itu hukumnya wajib.
H. AQIQAH
H. AQIQAH
Aqiqah
adalah binatang yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran anak, baik
laki-laki maupun perempuan. Pada hari itu bayi yang baru lahir itu diberi nama
dengan nama yang baik.
Hukum
aqiqah adalah sunnat bagi orang yang wajib menanggung belanja anaknya. Untuk
laki-laki disunnatkan menyembelih 2 ekor kambing dan untuk bayi perempuan
seekor kambing. Tetapi
jika belum mampu untuk mengadakan aqiqah pada hari ketujuh, maka boleh
dikerjakan pada hari keempat belas, atau hari-hari yang lain. Dan waktu
menyembelih hewan aqiqah yang paling baik adalah di waktu Dluha. Dan disunnatkan dimasak lebih dahulu
kemudian disedekahkan kepada faqir miskin. Bagi orang yang melakukan aqiqah
boleh memakannya sedikit dari daging itu, jika itu adalah aqiqah.
BAB III
SHOLAT
A.
DEFINISI DAN LEGALITAS HUKUM SHALAT
1. Pengertian shalat
Shalat
menurut arti bahasa adalah do’a, sedangkan menurut terminologi syra’ adalah
sekumpulan ucapan dan perbuatan yang di awali dengan takbir dan di akhiri
dengan salam.
Ia
disebut shalat karena menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, dan
shalat merupakan manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah SWT.
Dari sini maka, shalat dapat menjadi media permohonan pertolongan dan
menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang di temui manusia dalam perjalanan hidupnya, sebagaimna
firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“ Hai orang-orang yang beriman mintalah
pertolongan kepada Allah dengan sabar dan
mengerjakan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(Q.S Al-Baqarah [2]: 153)
2. Ugensi shalat dalam kehidupan
manusia
Manusia
adalah makhluk yang bersifat sosial yang membutuhkan orang lain. Orang kaya
membutuhkan orang miskin. Orang miskin membutuhkan orang kaya. Orang kuat
membutuhkan orang lemah. Dan orang lemah membutuhkan orang kuat.
Satu
sama lain, manusia saling melayani, baik kaum pedesaan dan kaum urban
perkotaan, meskipun mereka tidak menyadarinya, karena watak kehidupan
meniscayakan interaksi dan pergaulan.
Persyariatan
shalat mengandung titik konsentrasi kehidupan yang baik, di mana kita dapat melihat didalamnya
semangat penegakkan keadilan, pembinaan akhlaq, dan penempatan naluri (insting).
Sebab dalam shalat, aspek spiritualitas muncul, bangkit, dan menguat. Dengan
shalat, manusia dapat berkomunikasi langsung dengan penciptannyadan pengatur
urusannya. Meminta dan memohon pertolongan Allah. Dan sebagai orang yang
memohon pertolongan Allah, tentu saja ia harus mengharap dan takut kepada dzat
yang di mintaim tidak berkeluh kesah dan tidak panik ketika mendapat cobaan.
Allah berfirman:
هَلُوعًا خُلِقَ الإنْسَانَ إِنَّ جَزُوعًا الشَّرُّ مَسَّهُ ذَا إِ
مَنُوعًا الْخَيْرُ مَسَّهُ وَإِذَا الْمُصَلِّينَ إِلا
“ Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, Apabila ia di timpa
kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
kecuali orang-orang yang mengerjakan
shalat.”(Q.S. AL-ma’arij[70]: 19-22)
3.
Efek shalat dalam
membina Akhlaq Orang Mukmin
Allah SWT.menjadikan shalat sebagai media untuk membina dan meluruskan orang mukmin setelah sebelumnya
Dia memberikan kepada manusia segala macam ciptaan-Nya menundukkan semua yang
ada dilangit dan di bumi untuk manusia,dan memuliakannya dengan akal dan
pikiran.
Shalat menutrisi tubuh, akal, dan hati. Allah berfirman:
لِلَّهِ قَانِتِينَ وَقُومُوا
“ Berdirilah untuk Allah dengan khusyu’. (Al-Baqarah[2]:
238)
Allah berfirman:
وَاعْبُدُوا وَاسْجُدُوا ارْكَعُوا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
تُفْلِحُونَ لَعَلَّكُمْ الْخَيْرَ وَافْعَلُوا رَبَّكُمْ
“ Hai orang-orang
yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.”(Al-Hajj[22]: 77)
4.
Kedudukan Shalat
dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Berikut ini adalah
nash-nash Al-Qu’an dan Hadits yang menerangkan hal tersebut.
a.
Firman Allah:
ذُرِّيَّتِي وَمِنْ الصَّلاةِ مُقِيمَ ا اجْعَلْنِي رَبِّ
دُعَاءِ وَتَقَبَّلْ رَبَّنَ
“ Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang
tetap mendirikan shalat, ya tuhan kami, perkenankanlah do’aku.”(Q.S ibrahim:40).
Berikut
ini adalah ayat-ayat yang membahas tentang salat di dalam Al Qur'an,
kitab suci agama Islam.
- Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: Hendaklah mereka mendirikan salat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan (QS.Ibrahim :31)14:31
- Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji (zinah) dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat lain) Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-‘Ankabut : 45) 29:45
·
Maka datanglah sesudah mereka,
pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan
(Maryam: 59)19:59
- Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya (al-Ma’arij : 19-23)70:19
5.
Sejarah Salat Fadhu
Salat
yang mula-mula diwajibkan bagi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya adalah
Salat Malam, yaitu sejak diturunkannya Surat al-Muzzammil (73) ayat 1-19.
Setelah beberapa lama kemudian, turunlah ayat berikutnya, yaitu ayat 20: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya
kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam
atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama
kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang
kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah
sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan ini, hukum
Salat Malam menjadi sunat. Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan
ulama salaf lainnya berkata mengenai ayat 20 ini, "Sesungguhnya ayat ini
menghapus kewajiban Salat Malam yang mula-mula Allah wajibkan bagi umat Islam.
6.
Syarat-syarat Shalat
Di antara sahnya shalat adalah sebagai berikut:
a.
Suci, yaitu suci
badan, tempat dan pakaian.
b.
Shalat pada
waktunya, karena hal ini merupakan amalan terbaik.
0 comments:
Posting Komentar