Ilmu Fiqh

Mei 11, 2012 0 Comments

Nhingz, BLOG--Postingan pertama untuk artikel islam ini yaitu Ilmu Fiqh... berikut:

I.             PENGERTIAN ILMU FIQIH

Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;
“Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).”
Hadits Nabi :
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).

Ilmu fiqih adalah Ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk Ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.

II. FAKTOR-FAKTOR PERBEDAAN PENDAPAT 


Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan pendapat adalah sebagai berikut:
1.       Faktor-faktor yang menyangkut bahasa:
Terkadang dalam teks-teks syari’at terdapat “lafazh musyrarak” (kata yang mempunyai banyak makna), seperti kata “‘ain yang bisa berarti “mata”, “barang”,“emas murni” dan lain sebagainya.  Jika dalam teks syari’at terdapat kata yang tidak terkait dengan konteks tertentu, maka makna-makna yang ada bias digunakan seluruhnya ,tergantung masing masing mujtahid mau menggunakan yang mana.
Misalnya para ahli fiqih berbeda pendapat dalam memaknai kata “al-qur`” dalam ayat 228 dari surat al-Baqarah. Kata “al-qur`” bisa dimaknai “ath-thuhr” (masa suci) atau bisa juga “al-haydh” (masa haid). Di sini para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai iddah wanita yang ditalak suaminya, apakah dengan tiga kali suci atau yang dengan tiga kali haid? Para ahli fiqih di Hijaz berpendapat bahwa iddah wanita yang ditalak  suaminya adalah tiga kali suci, sedangkan para ahli fiqih Irak berpendapat tiga kali haid.[12]
Dan terkadang ada suatu kata dalam teks syari’at yang bermakna haqîqîy dan majâzîy. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih mana di antara kedua makna tersebut yang lebih bisa gunakan.[13]
Misalnya kata “al-mîzân” dalam ayat 7 dari surat ar-Rahmân. Ada sebagian yang lebih memilih makna majâzîy, yaitu “keadilan”. Dan ada juga sebagian yang memilih makna haqîqîy, yaitu “timbangan”.

2.  Faktor-faktor yang menyangkut periwayatan as-Sunnah:
Sebagian besar perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama salaf  bermuara di sini. Terkadang sebuah hadits tidak sampai kepada mujtahid tertentu, sehingga dia berfatwa berdasar makna tekstual ayat atau hadits lain, atau dengan melakukan qiyas (analogi) terhadap kejadian yang pernah terjadi di masa Rasulullah saw. hidup, atau dengan yang lain.
Terkadang sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid, akan tetapi dia menemukan kekurangan di dalamnya yang membuat dia enggan mengamalkannya. Misalnya dia meragukan keshahihan sanad hadits tersebut karena terdapat perawi yang majhûl, atau lemah dalam menghafal silsilah isnadnya, atau karena maqtû’ atau mursal.
3.   Faktor-faktor yang menyangkut pertentangan antara hadits yang satu dengan    yang lainnya.
Para ahli fiqih bisa saja berbeda pendapat mengenai makna-makna hadits, misalnya mereka berbeda dalam masalah “al-muzâbanah”, “al-mukhâbarah”, “al-muhâqalah”, “al-mulâmasah”, “al-munâbadzah”, dan “al-gharar” karena perbedaan mereka dalam menafsirkannya.
Terkadang ada sebuah hadits yang sampai kepada seorang mujtahid dengan suatu lafazh, dan sampai kepada mujtahid lain dengan lafazh yang berbeda. Misalnya salah satu dari keduanya menghapus sebuah kata yang mana makna hadits tersebut menjadi tidak sempurna kecuali dengan kata itu.
Kadang-kadang ada sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid disertai dengan asbâbul wurûd-nya, dan sampai kepada mujtahid lain tanpa disertai dengan itu sehingga membuat pemahamannya berbeda dengan yang pertama.
                   Terkadang ada seorang perawi yang menerima sebuah hadits secara lengkap, sementara perawi lain tidak. Maka tak nyana ini akan berpengaruh pada pemahaman keduanya. Kadang juga seorang mujtahid menganggap sebuah hadits telah dinasakh, atau ditakhshîsh, atau ditaqyîd, sementara mujtahid lain tidak beranggapan demikian. Maka sudah tentu ini akan membuat pendapat keduanya berbeda.
4. Faktor-faktor yang menyangkut kaidah-kaidah ushuliyah dan acuan-acuan penyimpulan  hukum:
Ilmu ushul fiqih merupakan sekumpulan kaidah dan acuan yang dibuat oleh para mujtahid untuk lebih mengakuratkan proses ijtihad dan penyimpulan hukum-hukum syari’at yang sifatnya furu’iyah dari dalil-dalil tafshiliyah (terperinci), yang mana para mujtahid menetapkan dalam metode-metode ushuliyah mereka dalil-dalil yang darinya dapat disimpulkan hukum-hukum, kemudian mereka menentukan cara-cara penyimpulan hukum syari’at dari setiap dalil yang ada, juga langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk sampai kepada hukum syari’at yang dimaksud.
Setiap madzhab atau aliran mempunyai kaidah-kaidah dan acuan-acuannya   masing-masing. Ada madzhab yang berpendapat bahwa fatwa seorang sahabat Nabi saw kalau sudah populer dan tidak ada satu pun yang menentangnya—dari para sahabat sendiri—bisa digunakan sebagai hujjah, karena para sahabat tidak akan mengeluarkan fatwa kecuali berlandaskan pada sebuah dalil, atau pemahaman mereka terhadapnya, atau berdasarkan apa yang mereka dengar dari Rasulullah saw.
Sebagian mujtahid ada yang menggunakan al-mashâlih al-mursalah, yaitu hal-hal yang di dalam syari’at tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan keberadaannya, sebagaimana tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan penghapusan terhadapnya. Jika seorang mujtahid menemukan dalam hal-hal tersebut sesuatu yang menjamin kemaslahatan, maka dia akan berpendapat berdasar maslahat tersebut dengan anggapan bahwa syari’at digariskan hanya untuk menjamin kemaslahan manusia.
Ada juga beberapa hal lain yang hingga saat ini masih menjadi obyek perdebatan di kalangan ahli fiqih atau mujtahid, seperti Istishlâh (pencapaian maslahat), Istihsân (kebaikan yang dicapai dengan rasio), Istish-hâb (penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), syar’ man qablanâ (syari’at agama pra-Islam), sadd adz-dzarâ`i’ (tindakan preventif), ‘amal ahl al-Madînah (tradisi penduduk Madinah), ‘urf (adat istiadat), istiqrâ` (observasi), al-akhdz bi aqall mâ qîla (pengambilan ukuran minimal yang dikemukakan), al-akhdz bil ahwath (pengambilan yang lebih hati-hati) dan lain sebagainya.

5. Faktor-faktor yang menyangkut Sumber hukum yang berbeda
A.    Perbedaan memahami Al-Qur’an
Ø  Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
Ø  Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).
Ø  Adanya ayat-ayat yang ‘Am (umum)
Ø  Adanya perbedaan penafsiran cakupan
Ø  Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
Ø  Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
Ø  Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
B.      Perbedaan Memahami Hadits
Ø  Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
Ø  Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
Ø  Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.  Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
Ø  Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
Ø  Perbedaan perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan)      dengan qiyas dan atau illat syari’ah
C.   Perbedaan Metode Ijtihad.
1. Imam Abu Hanifah :
a.     Berpegang pada dalalatul Qur’an
Ø  Menolak mafhum mukhalafah
Ø  Lafz umum itu statusnya Qat’i selama belum ditakshiskan
Ø  Qiraat Syazzah (bacaan Qur’an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b.       Berpegang pada hadis Nabi
Ø  Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)
Ø  Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c.       Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d.       Berpegang pada Qiyas
Ø  mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e.       Berpegang pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada   sebab khusus yang lebih kuat).
2. Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
Ø  zhahir Nash
Ø  menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
d.  Qaul shahabi
e.  Qiyas
f.   Istihsan
g.  Mashlahah al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan pengakuannya).
3.  Imam Syafi’i
a.  Qur’an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an    dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi’i digelari “Nashirus Sunnah”. Konsekuensinya, menurut Syafi’i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an dalam kasus tertentu)
b.  Ijma’
c.  hadis ahad (jadi, Imam Syafi’i lebih mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
4.  Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush (yaitu Qur’an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur’an) menolak ijma’ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi’i)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
b.       Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
c.       Ijma’
d.       Hadis dhaif
e.       Qiyas

*     Ketentuan Hukum (Mahkum Bih)

A.  Wajib yaitu pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum wajib terbagi menjadi :
1. Wajib Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya, contoh : wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’.
2. Wajib Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa ramadhan.
3. Wajib Muwassa’ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu, sholat isak dari petang sampai subuh.
4. Wajib Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
5. Wajib Dzu Syabahain = wajib muwassa’ sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
6. Wajib ‘ain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan oleh atau kepada orang lain.
7.Wajib Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila sebagian individu sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu yang lain, contoh : mengurus jenazah.
8.  Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9.  Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh :     sedekah, wakaf.
10. Wajib Mu’aiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
11. Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
12.   Wajib Muaddaah= Wajib yang ditunaikan dalam waktunya ada’an.
13.  Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qada’an.
14.  Wajib Mu’aad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang                       sempurnanya yang ditunaikan pertama.
B.   Sunnat yaitu bila dikerjakan mendapat pahala dan Bila ditinggalkan     mendapat dosa.
Pembagian Sunnat :
1. Sunnat Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan dan jama’ah.
2. Sunnat Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan, contoh : makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
3. Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib, shalat tahajud.
4.  Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat sunnat 4 rakaat sebelum duhur.
C.   Mubah yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh   ditinggalkan.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1.  Jangan berlebihan.
2.  Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
3. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
D.  Makruh yaitu bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian Makruh :
1.       Makruh Tanzih = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji         bila ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2.  Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum qath’i (pasti) yaitu dari hadits ahad.
E.    Haram yaitu bila dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima waktu, makan daging babi.

*     Obyek Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum ‘Alaih)

Obyek hukum dalam fiqih adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang dewasa dan berakal sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a.       Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.
b.       Sanggup dikerjakan.
c.       Dapat dibedakan.
d.       Diketahui berdasarkan dalil.
e.       Untuk melaksanakan taat (ibadah).
Subyek hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a.       Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b.       Baligh (dewasa).
c.       Berakal (sadar dan waras).
Halangan – halangan :
1.  Gila
2.  Setengah gila
3.    Lupa
4.    Tidur
5.    Pingsan
6.    Mabuk
7.   Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8.   Haid
9.   Nifas
10.   Mati
11.   Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jum’at
12.   Silap (tidak sengaja)
13.   Paksaan
14.   Hujan, halangan untuk shalat berjama’ah.
15.   Tua renta pikun.

BAB II
THAHARAH

A. PENGERTIAN THAHARAH
Kata  thaharah berasal dari bahasa Arab yang berarti bersici. Dalam istlah Islam diartikan membersihkan badan, pakaian dan tempat tinggal kita, sebelum kita melaksanakan ibadah. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan kita menjaga kebersihan dan kesucian, diantaranya :

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

“Dan bersihkan pakaian dan jauhilah perbuatan yang kotor (dosa). (Q.S. Mudatstsir : 4-5).



B.  MACAM-MACAM AIR DAN PEMBAGIAN

                Air yang bisa dipergunakan untuk bersuci jumlah ada tujuh macam,   yaitu :

1.Air hujan
2. Air laut
3. Air sungai
4. Air sumur
5. Air sumber
6. Air es (air dari salju yang telah mencair)
7. Air embun

Pembagian air sebagaimana tertera di bawah ini, yaitu :

1. Air suci dan mensucikan (air muthlaq), yaitu air suci yang dapat mensucikan.
2. Air suci, tetapi tidak mensucikan, berarti zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk  mensucikan sesuatu.
3. Air yang makruh dipakai yaitu air yang terjemur pada sinar matahari dalam bejana selain emas dan perak.
4. Air yang terkena najis.

B.   NAJIS DAN CARA PENYUCIANNYA

a). Pengertian Najis

               Perkataan Najis berasal dari bahasa Arab, yang mengandung arti sesuatu yang kotor atau tidak bersih. Sedangkan menurut arti syara’ ialah sesuatu yang mencegah syahnya shalat.
b). Benda-benda Najis

Benda-benda yang termasuk najis diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bangkai binatang
2. Darah
3. Nanah
4. Muntah
5. Segala sesuatu yang keluar dari alat buang air kecil dan air besar (Qubul dan Dubur).
6. Arak
7. Babi dan Anjing
c). Cara membersihkan Benda Najis
Cara membersihkan atau mensucikan benda yang kena najis, dapat dibedakan sesuai dengan jenis najis benda yang dikenainya. Lebih jelasnya diperinci sebagai berikut :
1. Apabila najis itu dapat kita lihat, seperti kotoran, darah dan sebagainya, badan, pakaian atau tempat kita, maka cara membersihkannya ialah kita menggosok najis itu kemudian menyiraminya dengan air, sekali atau beberapa kali.
2.  Apabila najis itu tidak dapat kita lihat, seperti air kencing yang telah kering, maka cara membersihkannya ialah kita menyiram najis itu sekali atau beberapa kali.
3.  Apabila barang yang terkena najis itu barang cair, selain air, bila dalam keadaan kental, maka kita membuang sebagian yang kena najis itu, apabila keadaannya cair maka kita tidak dapat menggunakannya secara keseluruhan.
4.  Membersihkan tanah yang kena najis ialah dengan menuangkan air diatas tanah itu.
5.  Apabila benda yang terkena najis itu berupa benda yang keras dan mengkilap, seperti cermin atau pedang dan sebagainya, maka cara membersihkan cukup dengan menggosokkan benda tersebut.
6.  Apabila benda yang kena najis itu berupa sandal atau sepatu, maka cara menghilangkannya cukup dengan menempel itu menjadi hilang..
7.  Apabila anjing menjilat bejana (tempat makan dan minum kita, maka cara membersihkannya ialah kita membasuh bejana itu sampai tujuh kali, satu diantaranya mempergunakan tanah, sebagaimana disebutkan dalam hadits terdahulu.
C.  ISTINJA
            Istinja artinya bersuci sesudah keluar kotorannya (kencing atau berak), yaitu dengan cara menggunakan air atau dengan tiga buah batu, apabila tidak terdapat air.
D. MANDI
Mandi manurut syara’ ialah meratakan air ke seluruh badan untuk membersihkan atau menghilangkan hadats besar.
a.         Rukun Mandi
Rukun mandi ada 4 macam yaitu :
1. Niat, orang yang junub hendaknya berniat menghilangkan hadats junubnya, perempuan yang baru habis (selesai) haidnya.
2. Menyampaikan air ke seluruh tubuh (rambut dan kulit).
3. Membasuh badan.
4. Menghilangkan najis yang ada pada badan.

E. WUDLU’
a. Pengertian Wudlu
                   Wudlu menurut lughat berarti bersih dan indah. Menurut syara’ berarti membersihkan anggota-anggota wudlu’ untuk menghilangkan hadats kecil.
Wudlu’ adalah suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum seseorang mengerjakan shalat.
b.    Syarat-syarat Wudlu
Ada beberapa syarat yang berhubungan dengan pelaksananya
            wudlu, baik berupa syarat wajib ataupun syarat sah:
1. Islam
2. Mumayyiz, yaitu orang yang suka dapat membedakan antara
yang baik dan yang buruk.
3. Tidak berhadats besar.
4.Mempergunakan air yang suci dan mensucikan.
5. Tidak ada satu benda yang dapat menghalangi sampainya air pada anggota wudlu (kulit), seperti getah, minyak dan sebagainya.
Adapun rukun wudlu’ itu adalah sebagai berikut :
1. Niat wudlu
2. Membasuh muka
3. Membasuh dua belah tangan sampai siku-siku
4. Menyapu sebagian dari rambut kepala
5. Membasuh dua belah kaki sampai kedua mata kaki
6. Tertib, artinya menurut aturan mulai nomor satu (1) sampai nomor (5).




F. TAYAMUM
a. Pengertian Tayamum
Tayamum ialah menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Arti tayamum sendiri menurut bahasa adalah menuju, sedangkan menurut istilah syara’ ialah mempergunakan tanah yang bersih guna menyapu muka dan tangan untuk menghilangkan hadats menurut cara yang ditentukan oleh syara’.
Orang yang diperolehkan tayamum adalah :
1. Orang yang sedang sakit bila terkena air bagian anggota wudlu’nya akan bertambah sakitnya menurut keterangan dokter.
2. Karena dalam perjalanan dan sangat sulit untuk mendapatkan air.
3. Karena tdak ada air.
b. Syarat-syarat Tayamum
Tayamum supaya syah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1. Telah masuk waktu shalat.
2. Sudah berusaha mencari air, tetapi tidak mendapatkannya sedang waktu shalat sudah masuk.
3. Dengan menggunakan tanah/debu yang bersih.
4. Akan lama sembuhnya atau bertambah parah sakitnya bila anggota wudlu’nya terkena air.
5. Tidak ada air.
c. Rukun Tayamum
1. Niat, hendaknya seorang yang akan melakukan tayamum berniat karena hendak mengerjakan shalat dan sebagiannya bukan semata-mata untuk menghilangkan hadats saja, karena sifat tayamum tidak dapat menghilangkan hadats, hanya dibolehkan untuk melakukan shalat karena darurat. Keterangan bahwa niat tayamum wajib hukumnya adalah hadits yang mewajibkan niat wudlu.
2. Menyapu muka dengan tanah.
3. Menyapu kedua tangan sampai siku dengan tanah.
4. Menerbitkan rukun-rukun.

G. QURBAN
Qurban atau udliyah adalah hewan yang disembelih untuk ibadah pada hari raya Adlha dan hari-hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 14 Dzulhijjah.

الْكَوْثَرَ أَعْطَيْنَاكَ إِنَّا
وَانْحَرْ لِرَبِّكَ فَصَلِّ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kamu kebijakan yangbanyak, maka kerjakanlah shalat karena Tuhanmu, dan sembelilah qurban” (Q.S. Al Kautsar : 1-2)
Hewan yang dikurbankan ialah hewan yang baik, sehat tidak cacat, seperti pincang, kurus, sakit, matanya buta, telinganya putus, ekornya putus dan lain sebagainya.

Mengenai daging qurban, dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
1. Daging qurban wajib
Qurban yang wajib seperti qurban nadzar (janji yang pernah diucapkan). Daging qurban nadzar harus dibagikan/disedelahkan kepada semua orang. Sedangkan orang yang berkorban tidak boleh memakan dagingnya, atau mengambil kulit atau tanduknya.
2.Daging qurban sunnat
Daging qurban sunnat ialah qurban seperti biasa yang dilakukan pada setiap hari raya qurban. Daging qurban sunnat dapat diserahkan menjadi tiga. Satu bagian disedekahkan satu bagian lagi dimakan sendiri bagi orang yang berkorban dan sebagian lagi dihadiahkan. Bahkan menurut sebagian ‘Ulama, bahwa memakan daging qurban bagi orang yang berkorban itu hukumnya wajib.
H.  AQIQAH
Aqiqah adalah binatang yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran anak, baik laki-laki maupun perempuan. Pada hari itu bayi yang baru lahir itu diberi nama dengan nama yang baik.
Hukum aqiqah adalah sunnat bagi orang yang wajib menanggung belanja anaknya. Untuk laki-laki disunnatkan menyembelih 2 ekor kambing dan untuk bayi perempuan seekor kambing. Tetapi jika belum mampu untuk mengadakan aqiqah pada hari ketujuh, maka boleh dikerjakan pada hari keempat belas, atau hari-hari yang lain. Dan waktu menyembelih hewan aqiqah yang paling baik adalah di waktu Dluha. Dan disunnatkan dimasak lebih dahulu kemudian disedekahkan kepada faqir miskin. Bagi orang yang melakukan aqiqah boleh memakannya sedikit dari daging itu, jika itu adalah aqiqah.

BAB III
SHOLAT

A.          DEFINISI DAN LEGALITAS HUKUM SHALAT
1.    Pengertian shalat
Shalat menurut arti bahasa adalah do’a, sedangkan menurut terminologi syra’ adalah sekumpulan ucapan dan perbuatan yang di awali dengan takbir dan di akhiri dengan salam.
Ia disebut shalat karena menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, dan shalat merupakan manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah SWT. Dari sini maka, shalat dapat menjadi media permohonan pertolongan dan menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang di temui  manusia dalam perjalanan hidupnya, sebagaimna firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ


“ Hai orang-orang yang beriman mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan  mengerjakan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 153)
2.   Ugensi shalat dalam kehidupan manusia
Manusia adalah makhluk yang bersifat sosial yang membutuhkan orang lain. Orang kaya membutuhkan orang miskin. Orang miskin membutuhkan orang kaya. Orang kuat membutuhkan orang lemah. Dan orang lemah membutuhkan orang kuat.
Satu sama lain, manusia saling melayani, baik kaum pedesaan dan kaum urban perkotaan, meskipun mereka tidak menyadarinya, karena watak kehidupan meniscayakan interaksi dan pergaulan.
Persyariatan shalat mengandung titik konsentrasi kehidupan yang baik,  di mana kita dapat melihat didalamnya semangat penegakkan keadilan, pembinaan akhlaq, dan penempatan naluri (insting). Sebab dalam shalat, aspek spiritualitas muncul, bangkit, dan menguat. Dengan shalat, manusia dapat berkomunikasi langsung dengan penciptannyadan pengatur urusannya. Meminta dan memohon pertolongan Allah. Dan sebagai orang yang memohon pertolongan Allah, tentu saja ia harus mengharap dan takut kepada dzat yang di mintaim tidak berkeluh kesah dan tidak panik ketika mendapat cobaan. Allah berfirman:

هَلُوعًا خُلِقَ الإنْسَانَ إِنَّ جَزُوعًا الشَّرُّ مَسَّهُ ذَا إِ
مَنُوعًا الْخَيْرُ مَسَّهُ وَإِذَا الْمُصَلِّينَ إِلا
“ Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, Apabila ia di timpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang  mengerjakan shalat.”(Q.S. AL-ma’arij[70]: 19-22)
3.            Efek shalat dalam membina Akhlaq Orang Mukmin
Allah SWT.menjadikan shalat sebagai media untuk membina dan meluruskan orang mukmin setelah sebelumnya Dia memberikan kepada manusia segala macam ciptaan-Nya menundukkan semua yang ada dilangit dan di bumi untuk manusia,dan memuliakannya dengan akal dan pikiran.
Shalat menutrisi tubuh, akal, dan hati. Allah berfirman:

لِلَّهِ قَانِتِينَ وَقُومُوا
“ Berdirilah untuk Allah dengan khusyu’. (Al-Baqarah[2]: 238)
Allah berfirman:
وَاعْبُدُوا وَاسْجُدُوا ارْكَعُوا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
تُفْلِحُونَ لَعَلَّكُمْ الْخَيْرَ وَافْعَلُوا رَبَّكُمْ
“ Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.”(Al-Hajj[22]: 77)
4.        Kedudukan Shalat dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Berikut ini adalah nash-nash Al-Qu’an dan Hadits yang menerangkan hal tersebut.
a.       Firman Allah:
ذُرِّيَّتِي وَمِنْ الصَّلاةِ مُقِيمَ ا اجْعَلْنِي رَبِّ
دُعَاءِ وَتَقَبَّلْ رَبَّنَ
Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya tuhan kami, perkenankanlah do’aku.”(Q.S ibrahim:40).
Berikut ini adalah ayat-ayat yang membahas tentang salat di dalam Al Qur'an, kitab suci agama Islam.
  • Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: Hendaklah mereka mendirikan salat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan (QS.Ibrahim :31)14:31
  • Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji (zinah) dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat lain) Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-‘Ankabut : 45) 29:45
·         Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan (Maryam: 59)19:59
  • Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya (al-Ma’arij : 19-23)70:19
5.           Sejarah Salat Fadhu
     Salat yang mula-mula diwajibkan bagi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya adalah Salat Malam, yaitu sejak diturunkannya Surat al-Muzzammil (73) ayat 1-19. Setelah beberapa lama kemudian, turunlah ayat berikutnya, yaitu ayat 20: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan ini, hukum Salat Malam menjadi sunat. Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya berkata mengenai ayat 20 ini, "Sesungguhnya ayat ini menghapus kewajiban Salat Malam yang mula-mula Allah wajibkan bagi umat Islam.
6.            Syarat-syarat Shalat
Di antara sahnya shalat adalah sebagai berikut:
a.       Suci, yaitu suci badan, tempat dan pakaian.
b.      Shalat pada waktunya, karena hal ini merupakan amalan terbaik.

Nhingzhdt

Saya adalah seorang individu yang sedang berusaha mengejar tujuan untuk menjadi sukses, dan berharap hal itu segera terealisasi. Aktivitas saya sehari-hari sebagai seorang guru mata pelajaran IPA, saya mempunyai dedikasi tinggi terhadap dunia pendidikan dan semoga menjadi teladan bagi murid saya.

0 comments: